Minggu, 21 Oktober 2012

Nama : Razi Fonna
NIM  : 1205102010073
Kelas : 1



IBADAH HAJI, KEINGINAN SETIAP MUSLIM 

  Q.S Al-Hajj

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

{٢٦}

Artinya : 
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku´ dan sujud.
(QS: Al-Hajj Ayat: 26)



لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ 
{٢٧}

Artinya :

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
(QS: Al-Hajj Ayat: 27)


Pada ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keagungan dan kemuliaan al Bait al Haram (rumah yang suci, Ka’bah), juga kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu khalilur rahman (Nabi Ibrahim Alaihisallam) [1]. Sebagaimana dalam ayat-ayat ini pula, terdapat celaan terhadap orang-orang yang menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’al. Demikian pula celaan terhadap orang-orang yang berbuat syirik dari kaum Quraisy, yang justru mereka berbuat kufur dan syirik di tempat yang pertama kali diserukan tauhidullah (pengesaan Allah) dan pengkhususan ibadah hnaya untuk Allah saja tanpa ada kesyirikan.
Allah pun menyebutkan dalam kitabNya yang mulia ini, bahwa Dia telah menempatkan Ibrahim Alaihissallam di sebuah tempat, yaitu Baitullah. Maksudnya adalah membimbingnya dan menyerahkan kepadanya, serta mengizinkannya untuk membangunnya.[2]
Ayat pertama dari kelima ayat di atas mengandung makna, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam dan anaknya, yaitu Nabi Ismail Alaihissallam [3] agar membangun Ka’bah [4] atas namaNya Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya dan menyucikannya dari kesyirikan-kesyirikan [5], yang (tujuannya) diperuntukkan bagi orang orang yang thawaf mengelilinginya, yang tinggal padanya [6], dan shalat dengan menghadap kepadanya dari kalangan orang-orang senantiasa melakukan ruku’ dan sujud.[7]. Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ
(“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”).
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar Nabi Ibrahim Aliahissallam menyerukan kepada segenap manusia di seluruh penjuru bumi, agar manusia melakukan ibadah haji dengan menuju Baitullah (Ka’bah) yang sebelumnya Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangunnya.[8]
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
(niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh)., mengandung janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam, bahwa segenap manusia dari segala penjuru dunia akan datang berhaji menuju Baitullah, mereka berjalan kaki ataupun berkendaraan. [9]
Adapun firmanNya يَأْتُوكَ (mendatangimu), walaupun kenyataannya mereka mendatangi Ka’bah, akan tetapi karena yang diperintah untuk menyerukannya adalah Ibrahim Alaihissallam, maka seolah-olah orang yang mendatangi Ka’bah untuk melakukan ibadah haji telah mendatangi Nabi Ibrahim Alaihissallam, karena ia telah menyambut seruannya tersebut. Ayat ini juga mengandung unsur pemuliaan terhadap Nabi Ibrahim qAlaihissallam.[10]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini seperti ayat lainnya ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan perihal NabiNya, (yaitu) Ibrahim Alaihissallam, tatkala ia berkata di dalam doanya:
فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ
(maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka – Ibrahim ayat 37), maka tak ada satu orang Islam pun melainkan ia benar-benar ingin dan rindu melihat Ka’bah dan thawaf mengelilinginya. Oleh karena itu, seluruh manusia (umat Islam) mendatanginya dari segala arah dan penjuru dunia.[11]
Pada ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa manfaat dari berkunjung ke Baitullah al Haram, baik yang bersifat diniyah ataupun duniawiyah.
Manfaat-manfaat diniyah ialah, seperti dapat mengerjakan ibadah-ibadah yang utama di tempat tersebut[12] sehingga meraih keridhaanNya [13]. Adapun manfaat-manfaat duniawiyah, seperti memperoleh daging-daging hewan kurban dan keuntungan-keuntungan dari hasil berniaga atau yang semisalnya [14]. Kedua jenis manfaat ini dapat diraih sekaligus agar kaum muslimin bersyukur kepadaNya dengan berdzikir, mengingat dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mereka menyembelih hewan kurban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’alapun memerintahkan setelahnya, agar sebagian sembelihan tersebut dimakan oleh mereka yang berkurban, dan sebagian yang lain diberikan kepada para fakir miskin [15].
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kaum muslimin menunaikan seluruh manasik haji dan menghilangkan segala kotoran yang ada pada tubuh mereka dengan cara mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan kembali mengenakan pakaian mereka. Semua ini sebagai tanda bahwa ihram mereka telah usai. Kemudian menunaikan nadzar-nadzar mereka [16] dan akhirnya dengan melakukan thawaf [17]. Pada ayat ini, terkandung perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kaum muslimin melakukan thawaf (secara tersendiri, padahal thawaf juga termasuk paket manasik haji) karena keutamaannya. Disamping itu, seluruh manasik haji adalah washilah (perantara) menuju thawaf ini. Mungkin juga, karena ada sebab lainnya, yaitu thawaf disyariatkan di setiap waktu dan kesempatan, dilakukan pada saat haji ataupun waktu lainnya [18].
Adapun ayat terakhir dari lima ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kembali bahwa semua itu merupakan perintah Allah, agar kaum muslimin menunaikan seluruh ibadah manasik haji sebagai perwujudan taat kepadaNya, pengagungan dan penghormatan terhadap hurumatillah [19]. Dan karena hal-hal ini sangat dicintai Allah, maka semuanya itu merupakan kebaikan di dunia dan akhirat bagi yang melakukannya, sehingga AllahSubhanahu wa Ta’alal menyediakan pahala yang sangat agung dari sisiNya bagi yang menunaikannya [20].
Dan firmanNya:
وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
(Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya), maksudnya adalah, telah dihalalkan seluruh hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing. Kecuali yang telah diharamkan dari hewan-hewan tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam Al Qur`an [21].
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
(maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu), maksudnya ialah, diwajibkan atas setiap muslim untuk menjauhi peribadatan terhadap berhala-berhala. Dan berhala-berhala dalam ayat ini disifati dengan najis, karena berhala merupakan salah satu jenis najis yang terbesar, yang menyebabkan pelakunya kekal dengan adzab di dalam neraka, karena ia telah berbuat syirik besar -wal ‘iyadzubillah-.
Adapun maksud dari najis di sini ialah, najis secara hukum (maknawi), bukan najis secara dzati (konkrit, nyata). Sehingga najis di sini adalah sifat syar’i yang berhubungan dengan hukum-hukum iman, yang tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan iman, sebagaimana (orang yang) bersuci dengan menggunakan air [21].
Berkaitan dengan firman ini, ada sebuah hadits dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَفِيْ عُنُقِيْ صَلِيْبٌ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ: ((ياَ عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذاَ الْوَثَنَ)), وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِيْ سُوْرَةِ بَرَاءَة: اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ , قاَلَ: ((أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُوْنُوْا يَعْبُدُوْنَهُمْ, وَلَكِنَّهُمْ كَانُوْا إذَا أَحَلُّوْا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوْهُ, وَإذَا حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوْهُ)).
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat salib (yang terbuat) dari emas, (lantas) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai ‘Adi, buanglah darimu watsan ini!’. (Lalu) aku mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat dalam surat Bara’ah: اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ (Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah – QS Bara’ah / At Taubah ayat 31), beliau bersabda: ‘Ketahuilah sesungguhnya mereka tidak menyembahnya, akan tetapi apabila mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu, merekapun (ikut) menghalalkannya, dan apabila mereka mengharamkan sesuatu, merekapun (ikut) mengharamkannya”. [23]
Dan firmanNya dalam ayat.
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
(… dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta), maksudnya ialah, menjauhi seluruh kata-kata yang diharamkan, baik berupa kata-kata dusta, batil, ataupun persaksian dusta [24].
Jika kita perhatikan dari firman yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghubungkannya dengan berhala (kesyirikan), yang menunjukkan betapa besar dosa berkata-kata atau bersaksi dusta [24].
Dalam sebuah hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟)) ثَلاَثاً, قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ, قاَلَ: ((الإشْرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ)), وَجَلَسَ, وَكَانَ مُتَّكِئاً, فَقَالَ: ((أَلاَ وَقَوْلَ الزُّوْرِ)), قَالَ: فَماَ زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتىَّ قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ.
“Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” Beliau mengatakannya tiga kali. Para sahabat menjawab.”Tentu, wahai Rasulullah,” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Mempersekutukan Allah dan durhaka kepada orangtua.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersandar, dan kembali bersabda: “Waspadalah dari berkata dusta”. Abu Bakrah berkata,”Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulangnya, sampai-sampai kami berkata, seandainya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam”. [25]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar